Saturday, May 25, 2013

7 Tahun Gempa Jogja: Mengingat Kembali Kejadian 27 Mei 2006

Pagi itu, jam dinding belum juga menunjukkan pukul 6 pagi. Aku baru bangun sekitar jam 5.50, sekitar 5 menit sebelum kejadian alam maha dahsyat itu terjadi di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pagi itu memang aku wajib bangun pagi karena hari itu di SMAku ada pelajaran jam ke-0. Aku masih duduk di kelas 1 SMA semester 2 kala itu. Tidak biasanya pagi itu, setelah aku bangun tidur, aku melangkahkan kaki keluar rumah. Aku keluar melalui pintu belakang-samping yang mengarah ke kebun di samping rumah. Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan waktu itu. Bapak sudah berangkat kerja karena beliau biasa berangkat sebelum jam 6 pagi. Ibukku sedang memasak di dapur dan adikku sedang menonton televisi. 

Sewaktu aku sedang berdiri di samping rumah, tiba-tiba aku mendengar suara keras yang hampir menyerupai suara dentuman ditambah suara seperti gas truk yang dipacu. Sepersekian detik aku sempat berpikir kalau ada kecelakaan di jalan dekat rumahku, namun ketika aku hendak berbalik, tanah yang kupijak bergoyang dengan kerasnya. Tanpa berpikir panjang, aku lari dari samping belakang rumah menuju ke depan rumah (ya, aku lari seperti orang bodoh, mengelilingi setengah dari bagian rumahku). Aku tidak tahu ibuk dan adikku dimana. Aku cuma bisa berteriak memanggil nama mereka. Aku panik dan kalut. Aku takut kalau gunung Merapi meletus dahsyat pagi itu. Ya, waktu itu sebenarnya Jogja sedang dalam kondisi siaga karena selama beberapa hari gunung Merapi berada dalam status AWAS. 

Selang beberapa detik setelah gempa berhenti, ibukku berlari menghampiriku di depan rumah sambil menggendong adikku. Adikku masih TK atau kelas 1 SD waktu itu. Dia terlihat sangat ketakutan. Aku juga ketakutan karena tembok rumah lamaku runtuh ke arah barat dimana rumahku yang baru berada. Untung saja waktu itu, ibuk tidak berlari melalui pintu samping yang berbatasan dengan rumah lamaku, kalau iya, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi pada beliau. Sebelumnya, terimakasih Tuhan Yesus. 

O ya, waktu gempa pagi-pagi itu, tetangga dekat rumahku sedang masak besar karena siangnya mereka akan bertolak ke daerah Kulon Progo untuk boyongan manten. Sontak semua ibu-ibu yang sedang memasak itu berlari berhamburan keluar. Ada yang membawa bakul nasi, ada yang menenteng besek, ada yang memegang pisau, macam-macamlah. Mereka juga terlihat kaget dan ketakutan. 

Selama beberapa menit setelahnya, aku memberanikan diri masuk rumah untuk mandi. Waktu itu aku belum punya handphone, jadi nggak bisa menghubungi teman-teman sekolah yang lain. Akhirnya, aku memutuskan untuk berangkat ke sekolah dengan diantar oleh ibuk. Adikku memilih untuk tidak berangkat ke sekolah. Ajaibnya, sampai di sekolahku, semuanya terlihat biasa, maksudnya guru-guru dan teman-teman semua berangkat. Amazing sekali. Bahkan salah satu guruku malah bilang kalau itu cuma gempa dari gunung Merapi saja. Setelah jam 7 lewat, barulah kami semua tahu kalau gempa tadi pagi bukan berasal dari erupsi gunung Merapi, melainkan berpusat di kabupaten Bantul. Ada patahan di sektor Opak (kalau nggak salah ingat).

Tak seberapa lama, tiba-tiba beberapa kakak kelasku yang sedang berolah raga berteriak panik. "Tsunami!! Tsunami!! Tsunami!! Kontan saja, seluruh orang yang ada di lingkungan sekolah panik. Tanpa dikomando kami para siswa bergegas mengemasi barang-barang kami masing-masing. Saking paniknya, aku malah berlari ke parkiran. Aku lupa kalau hari itu aku diantar ibuk ke sekolah. Setelah sadar, aku kemudian minta nebeng sama temanku. Saat itu yang aku pikirkan adalah menjauh dari sisi selatan (semua pantai ada di selatan dan barat daya Jogja). Di depan sekolah ternyata ibuk dan adikku sudah menjemput. Langsung saja aku turun dari motor temanku dan pulang bersama ibuk dan adikku. 

Di sepanjang jalan aku melihat beberapa orang yang sedang panik dan sebagian lainnya menangis. Bus-bus dan beberapa angkutan seperti colt dan mobil penuh sesak penumpang. Kendaraan itu melaju ke arah barat menuju pegunungan di wilayah kabupaten Kulon Progo. Intinya pada pagi menjelang siang itu, suasana sangat kacau. Ada isu tsunami dari arah selatan dan ada isu banjir lahar dingin dari sisi utara. Aku cuma pasrah saja. Di pikiranku terus terbayang peristiwa tsunami Aceh sebelumnya. Aku sudah siap mati waktu itu. 

Bukannya membawaku dan adikku pulang, ibukku malah membawa kami ke rumah kakek dan nenek (orangtua ibuk). Disana tidak terlihat kepanikan yang begitu besar. Bahkan kerusakan akibat gempa jam 5.55 pagi itu juga tidak terlihat. Katanya sih wilayah desa nenekku yang ada di sebelah barat dekat dengan sungai progo tidak termasuk jalur rambatan gempa. Ya, ternyata gempa itu ada jalurnya lho. Tergantung pada letak retakannya. Kalau wilayah desaku lumayan parah sih, bahkan genting-genting di rumahku runtuh kedalam rumah.

Akhirnya, pada pukul 11 lewat, semua keadaan mulai sedikit lebih tenang. Siaran radio mulai memberitakan keadaan Jogja pada waktu itu. Tak disangka, ternyata keadaan di kabupaten Bantul sangat parah. Lebih dari 6000 jiwa melayang. Jogja diliputi kabut duka yang begitu mendalam. Pada pukul 12 lewat, bapak menyusul ke rumah nenek. Ternyata sewaktu beliau hendak pulang sesaat setelah sampai di tempatnya bekerja, beliau terbawa arus massa yang menuju ke arah utara. Jalur ke selatan memang ditutup oleh polisi karena adanya isu tsunami.

Malam harinya kami sekeluarga tidak berani mengambil resiko untuk tidur di dalam rumah. Jadi kami membuat tenda seadanya di halaman depan. Sekitar jam 9 lewat, hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. Kami terpaksa tidur basah-basahan karena atap seng yang melindungi tenda darurat kami terlalu sempit jadi air hujan tetap membasahi tempat tidur kami yang kami bawa keluar. Aku sempat menangis karena membayangkan bagaimana warga Bantul lainnya yang juga kehujanan padahal rumah mereka sudah rata dengan tanah. Tapi aku tetap bersyukur, setidaknya aku dan seluruh anggota keluargaku selamat. Tuhan tetap melindungi kami dari bencana dan marabahaya.

Well, nggak kerasa tahun ini, bulan Mei ini, peristiwa maha dahsyat tersebut telah 7 tahun terlewati. Banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran, pengalaman, dan bahan intropeksi. 7 tahun adalah waktu yang cukup lama, meskipun belum seluruh rasa trauma dan rasa takut terangkat dari diri sebagian besar warga Jogja. Tapi kami sudah bangkit, kami bangkit!!


Salam semangat dari Jogja Istimewa :)


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
PitaPata - Personal picturePitaPata Cat tickers
PitaPata - Personal picturePitaPata Cat tickers
Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net