Saturday, November 3, 2012

Aku, Piano, dan Secarik Kertas Merah Jambu

Aku meremas-remas secarik kertas berwarna pink itu. Ya, kertas itu memang bukan kertas sembarangan. Aku menerimanya beberapa jam yang lalu. Awal mulanya, kertas itu terlipat rapi dan terbungkus sebuah amplop berwarna marun. Aku bukannya tak sengaja ingin menghancurkan lembaran kertas itu. Aku sengaja, memang sengaja!! Asal kau tahu, hatiku hancur! Benar-benar hancur!
***
"Lopas!!" Suara seseorang membuyarkan lamunanku. Sialan!
"Apa sih?? Ganggu orang aja!" Aku membentaknya. Dia, namanya Dena, cewekku. 
"Lopas, temenin gue makan yuk, laper nih." Dia menarik-narik tanganku. 
"Sorry Na, gue lagi kerja, lo nggak liat apa?" aku membentaknya lagi, kali ini aku memang sedikit kesal.
"Gue liat lo cuman bengong, mana ada lagi kerja!" Dena menatapku sewot. Akhirnya aku mengalah. Aku menggeser kursi dimana aku duduk tadi, di depan sebuah piano tua milik ayahku.
"Mau makan dimana Na? Nggak usah jauh-jauh ya, gue masih harus nyelesein garapan lagu baru gue."
Dena mengangguk. "Di rumah makan Padang aja ya Pas, gue lagi pengen makan nasi sama terong balado."
Aku mengiyakan sembari menarik ritsleting jaketku. 

Aku dan Dena menyantap makanan di piring kami masing-masing. Dena sedari tadi tidak bisa diam. Dia mengoceh kesana kemari. Sejak pertama kenal dia memang hobi ngoceh. Jauh berbeda denganku, aku lebih pendiam dan jarang bicara. Aku merasa kalau banyak bicara itu nggak penting. Tapi beda dengan Dena, dia memang tidak bisa berhenti bicara. Aku juga nggak tahu kenapa dulu aku memilih untuk jatuh cinta dengannya. Yang aku tahu hanya karena Dena itu mirip dengan mantan pacarku sewaktu kuliah dulu. Ya, aku dulu pacaran dengan seorang cewek yang punya kemiripan dengan Dena, pacarku sekarang. Cewekku dulu bernama Liana. Liana memang mirip dengan Dena. Ukuran tubuhnya yang tinggi dan berperawakan ramping, rambutnya yang dipotong bob dengan poni. Liana banyak berbicara, sama seperti Dena. Hanya saja, aku pikir, Liana lebih cerdas dibanding dengan Dena. Tapi dia hanya masa lalu. Masa dimana aku melakukan kesalahan yang amat bodoh. Ahh Liana!

"Lopas, lo napa sih? Bengong mulu? Kayak gue disini nggak dianggep aja." Dena mulai sewot lagi.
"Sorry Na, gue kepikiran kerjaan nih. Musti cepet kelar soalnya. Lo tau kan, instrumen itu harus jadi dua minggu lagi." Aku sedikit berkilah. Dan Dena percaya.
"Oke deh, kalau soal kerjaan, gue ngalah Pas." Dena beranjak, dia sudah selesai makan, sedangkan nasi Padangku baru aku makan dua sendok. Ah, aku tak lagi bernafsu untuk makan.
***
Akhirnya aku menyelesaikan instrumen lagu ini. Lagu ini adalah lagu buatanku sendiri. Hanya saja, pihak penyelenggara hanya membutuhkan instrumennya saja. Aku memang punya pekerjaan sebagai pembuat instrumen dan penulis lagu. Aku bekerja lepas dan kadang bekerja sama dengan beberapa panitia pertunjukan. Kali ini, aku membuat instrumen untuk soundtrack dari sebuah pertunjukan drama musikal. Drama musikal kali ini memang tidak sembarangan, drama musikal ini dibuat oleh mahasiwa-mahasiswa di almamaterku. Dan saat hari H nanti, akulah yang bertugas untuk memainkan instrumen yang aku buat. Aku membayangkan hal ini akan jadi momen yang luar biasa, karena beberapa alumnus akan datang. Termasuk Liana, aku harap begitu.
***
Besok adalah gladi resik pentas drama musikal di universitasku. Tinggal dua hari lagi, pentas besar menyambut Dies Natalis Universitas akan diadakan. Aku jadi tak sabar. Aku bukannya tak sabar untuk memainkan piano di hadapan semua penonton, bukannya tak sabar untuk mendengar gemuruh applause yang bergema sesaat setelah penampilanku. Bukan! Aku tak sabar untuk melihat Liana. Melihat seperti apa dirinya, setelah hampir dua tahun tak lagi bertemu denganku. Ah Liana!
***
Hari yang aku tunggu pun tiba. Aku berdandan seperti layaknya pianis profesional, meski bermain piano dan membuat lagu hanyalah hobiku saja. Dulu mediang ayahku yang mengajarkannya padaku. Ayahku adalah seorang pianis dan pencipta lagu. Bahkan beliau  memberikan nama Lopas pada anak satu-satunya karena nama ini sama dengan nama guru musiknya dulu waktu bersekolah di Jerman. 
"Pas, main yang bagus ya! Gue bakal dokumentasiin." Dena menemuiku di belakang panggung. Wajahnya terlihat sangat antusias. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Dalam hati aku terus mengucapkan kata maaf pada Dena, karena aku kali ini ingin bermain piano untuk Liana. Bukan untuk Dena seperti biasanya.
***
"Plokk plokk plokk plokk!!" Gemuruh tepuk tangan dari penonton menggema di auditorium kampus. Pertunjukkan sudah selesai dengan sangat sempurna. Aku pun sukses menutup pentas malam itu dengan permainan pianoku yang apik. Aku berdiri berjajar bersama dengan seluruh aktris, aktor, dan kru pertunjukan malam itu. Mataku sibuk mengamati bangku penonton satu persatu. 'Mana Liana?' batinku. Yang kulihat hanya Dena yang melambai-lambai ke arahku. Aku tak peduli. Pandangan mataku kembali menyusuri tiap baris di bangku penonton, tapi nihil. Liana tak ada. Padahal jelas-jelas aku lihat namanya tertulis dalam buku tamu.

Seusai acara, aku lalu menuju belakang gedung auditorium. Aku memantik korek api ke arah batang rokok yang aku jepit diantara kedua bibirku. Aku duduk sejenak di dekat auditorium, merokok. Angin malam berhembus, memainkan rambutku yang sudah agak panjang. Dinginnya malam membuatku ingin segera beranjak dari lokasi itu. Aku berdiri sejenak, memperhatikan seseorang yang berjalan ke arahku. Dena? Oh bukan, itu bukan Dena, rambut Dena tak sepanjang itu. Itu...
"Liana!" Aku berseru ke arah wanita yang sedang berjalan ke arahku. Wajahku berseri-seri melihat bahwa Liana menghampiriku.
"Hai Pas." Dia tampak tak begitu antusias menyambutku. Garing rasanya.
"Apa kabar Na?" Aku memperhatikan Liana dengan seksama. Dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Baik Pas," dia masih menunduk, "Penampilan kamu bagus."
"Ahh, makasih Na." 

Kami akhirnya memilih untuk duduk di bangku taman yang agak jauh dari auditorium. Aku sengaja memilih tempat yang sepi, agar Dena tidak mudah menemukanku. Aku berharap Dena masih sibuk dengan apapun itu. Handphone pun aku matikan, aku tak mau Dena mengganggu momenku bersama Liana.
"Pas, emmm ..." Liana tampak gelisah. Dia meremas-remas tangannya sendiri. 
"Kenapa Na? Kok kayaknya gelisah gitu?"
"Pas, aku pikir, kita benar-benar sudah berakhir. Kamu juga mikir begitu kan?"
Aku terdiam. Aku tak bisa menjawab. Pada dasarnya aku masih mencintai Liana. Demi apa aku masih sangat mencintainya.
"Aku pikir nggak gitu Na. Aku ... aku ... aku masih ..."
"Nggak Pas, kita emang udah selesai!" Suara Liana bergetar, aku tahu dia sedang menahan tangisnya agar tidak pecah.
"Na." Aku mengulurkan tanganku, tapi ditampiknya.
"Pas, aku akan segera menikah!" Liana menatapku penuh airmata. "Aku akan menikah minggu depan Pas!"
Deg!!! Jantungku serasa berhenti, nafasku tercekat. Aku tak bisa berkata-kata.
"Pas, sebulan lalu aku tahu kalau kamu sudah punya kekasih lagi, makanya aku pikir waktu itu saat yang tepat untuk menerima lamaran Jody. Aku nggak bisa Pas kalau harus menunggumu yang tak punya kepastian! Menunggumu yang lari dari tanggung jawab!"
Aku masih terdiam, aku tidak tahu harus berkata apalagi di hadapan Liana. Aku memang salah dan aku memang pria terbodoh yang pernah ada.
"Pas, aku harus pulang sekarang, Jody sudah menungguku di parkiran. Aku harap kamu bisa datang ya, aku harap kamu bisa datang dan bertemu dengan Niko." Liana berjalan meninggalkanku bersama sebuah amplop berwarna marun.
***
Dua tahun yang lalu...
"Liana, aku mau menikahi kamu. Tapi tidak sekarang Na! Aku belum siap apa-apa!" Aku menggenggam tangan Liana yang terasa dingin dan pucat.
"Pas, lalu aku harus bagaimana? Perutku akan bertambah besar dan semua orang akan tahu kalau aku hamil!!" Liana menangis dihadapanku. Aku tak bisa berpikir jernih lagi. Aku tak bisa melihat kenyataan bahwa pacarku sedang mengandung anakku.
"Na, kalau kamu gugurkan saja bagaimana? Kandungan kamu masih muda, masih dua bulan. Pasti masih bisa digugurkan."
"Enggak Pas! Enggak akan! Aku nggak akan membunuh anakku sendiri!" Liana menangis semakin keras. Aku sudah gelap mata. Aku pun berlari meninggalkannya. Meninggalkannya sendiri menangis di ujung taman tempat paling favorit kami berdua.
***
Selama satu setengah tahun aku menetap di Jerman. Aku tinggal di rumah warisan ayahku disana yang ditempati oleh adik ayahku semenjak ayahku meninggal. Di Jerman juga aku bertemu dengan Dena, yang aku anggap sangat mirip dengan Liana. Aku mencoba menebus rasa bersalahku pada Liana melalui Dena. Aku pun memacarinya, dan selalu memainkan lagu-lagu buatanku dengan piano usang milik ayahku ini. Aku melakukan apa yang dulu disukai oleh Liana. Ketika pulang ke Indonesia bersama Dena, aku mencoba mencari Liana, tapi tak ketemu karena dia sudah pindah rumah bersama keluarganya entah kemana. Aku jadi semakin merasa berdosa padanya. Jangan-jangan dia pindah karena aku, karena perbuatanku. Liana pasti sangat malu dan tertekan menjadi ibu dari anak yang ayahnya tidak mau bertanggung jawab.
***
Beberapa bulan aku berada di Indonesia, aku mendapati Liana mengirimkan beberapa foto seorang anak laki-laki berambut ikal. Aku melihat matanya, mirip dengan mataku. Di balik salah satu foto itu, aku menemukan tulisan, Nikolas Armando Lopas -7 Juli 2011-. Aku menangis tanpa suara. Aku mendekap foto-foto Niko, anakku. Aku ingin menemuinya tapi aku tak tahu dimana aku bisa menemuinya. Aku membolak-balik amplop itu. Tak ada alamat, sialnya amplop itu dikirimkan melalui jasa kurir tembak atau kurir tidak resmi. Hanya ada sebaris tulisan di balik amplop itu. 'Kita harus bertemu setelah acara Dies Natalis Universitas, Liana'.

Malam ini aku benar-benar bertemu dengan Liana. Wanita yang paling aku cintai seumur hidupku. Harusnya aku bahagia karena dia masih sudi menemuiku, melihat wajahku, dan mendengar suaraku. Tapi kenyataanya, hatiku hancur oleh sebuah amplop berwarna marun yang dia berikan padaku. Dia akan menikah dengan Jody. Jody yang juga teman sekampusku dulu, Jody yang juga adalah temanku sejak kecil, yang sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Keparat!! Tapi apa boleh buat, ini salahku sendiri. Kebodohanku sendiri. Aku janji Liana, aku akan datang ke pernikahanmu. Aku akan datang, menemui Niko, darah dagingku. Aku berjanji Liana! Aku tak akan mengingkarinya lagi! Aku tak akan melarikan diri lagi! Aku tak akan mengecewakanmu lagi! Aku janji Liana! Aku janji Niko!


image was taken from here




Tyas
-Inspired from Piano Instrumental on Winamp playlist-

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
PitaPata - Personal picturePitaPata Cat tickers
PitaPata - Personal picturePitaPata Cat tickers
Dynamic Glitter Text Generator at TextSpace.net