Pagi ini hujan semalam masih menyisakan gerimis disertai bau tanah basah. Sebenarnya bukan lagi bau tanah basah seperti biasa melainkan ditambah dengan bau sedikit anyir khas tanah berpasir di sekitar pantai. Aku sengaja meninggalkan penginapan, hanya untuk mencari sedikit udara segar diluar. Aku merasa bosan untuk tetap berada di sebuah cottage yang terletak di sebuah bongkahan karang raksasa di ujung utara sebuah pantai berpasir putih yang aku samasekali tak tahu namanya. Aku meninggalkan penginapan tanpa alas kaki, hanya mengenakan jaket rajut yang sama sekali tidak mampu melindungiku dari udara dingin yang sangat menusuk.
Aku meneruskan langkah kecilku menyusuri bibir pantai. Tak ada matahari yang menyapaku, hanya ada suara burung laut yang beterbangan dan deburan ombak yang terdengar sangat keras. Gerimis perlahan membasahi rambutku dan juga badanku. Tapi aku tak peduli. Sesampainya di dekat sebuah laguna aku menghempaskan badanku ke pasir yang basah. Mataku nanar menatap kedepan, mencari kalau-kalau ada pelangi yang aku lihat. Kosong. Aku tak menemukan guratan warna merah jingga kuning hijau biru nila ungu. Ya, sinar matahari saja tak tampak, pelangi pun juga tak mungkin bisa tampak.
Angin dingin menerpaku, menggoyangkan rambutku yang sengaja kuurai. Aku merapatkan jaket rajutku. Mendekapkan tanganku ke badanku sendiri. Aku rindu kebebasan. Aku rindu tempat dimana aku berada dulu. Aku rindu kehidupanku. Disini, aku sekarat. Aku sekarat menunggu kematianku. Oke, aku akui, disini aku tidak menderita suatu penyakit yang mematikan, tidak juga sedang ingin bunuh diri. Aku disini juga tidak sedang disekap, diculik, atau apapun itu. Aku disini, hanya diasingkan. Aku tegaskan sekali lagi, aku sedang diasingkan.
***
"La, kamu harus mau ikut denganku!" Dia menggenggam tanganku dan aku melihat matanya yang terlihat semakin sayu.
"Aku tak tau harus bagaimana Greg. Aku takut kau akan..." Tenggorokanku tercekat, aku tak mampu melanjutkan ucapanku.
"La, apakah kamu mencintaiku?" Lelaki bernama Greg itu terus bertanya kepadaku.
Aku mengangguk, "Aku sangat mencintaimu Greg."
"Lalu, apalagi yang membuatmu tak ingin pergi denganku?" Dia terus menggenggam tanganku, "Aku akan menikahimu La."
Jantungku bergemuruh, seolah aku bisa mendengarkan seluruh desiran aliran darahku tepat ditelingaku.
"Aku tahu Greg. Tapi, ayahku..."
Greg menyeka airmataku, tangannya yang lembut mendekapku.
"Greg, aku harus pergi. Aku tak mau kalau ayahku sampai tahu aku menemuimu lagi."
"Tapi La..." Aku menepis tangannya. Mataku memandang kearah jendela dari kafe tempat kami bertemu. Diluar hujan gerimis masih saja turun.
"Greg, aku tak mau kamu berurusan lagi dengan ayahku. Dia bisa saja membunuhmu Greg!"
"Aku tak peduli La! Yang aku pedulikan hanya kamu!"
"Maaf..." Aku berlari keluar kafe. Meninggalkan sepasang mata sayu yang hanya bisa menatapku lewat jendela kaca.
***
"Viola!!"
Suara parau khas ayahku membangunkanku pagi ini. Dingin, dan semakin dingin rasanya disini.
"Ada apa ayah?" aku menjawab sembari mengucek mataku. Memfokuskan pandanganku yang masih sedikit kabur.
"Apa kau bertemu dengannya lagi?"
"Siapa?" tanyaku pura-pura tak mengerti.
"Lelaki itu. Lelaki gila penulis cerita konyol itu. Lelaki pendongeng yang tak punya masa depan itu."
Aku terdiam. Aku merasakan jantungku berdegup semakin kencang, tenggorokanku serasa menebal, dan mataku panas. Aku tak terima ayahku mendeskripsikan pria yang paling kucintai dengan kata-kata seperti itu. Greg tidak seperti itu. Greg punya masa depan.
"Tidak," aku berucap lirih. Aku berbohong, untuk keseribu kalinya, mungkin.
"Bagus. Jauhi saja dia. Dia tak pantas untukmu. Kamu patut mendapatkan yang terbaik. Yang terbaik dari generasi yang terbaik."
***
Aku membayangkan mata itu lagi. Bukan mata sayu yang dulu selalu aku lihat semasa aku masih kuliah. Mata ini mata yang bengis, mata yang selalu memandangku bagaikan aku adalah seekor itik liar yang siap menjadi mangsanya.
"Viola, cepatlah. Temui segera calon suamimu itu!" Suara parau ayahku terdengar dari balik pintu kamar. Tapi bukan kamarku, kamar yang biasa menjadi tempat tidurku yang paling nyaman. Aku bahkan membenci kamar ini. Kamar yang terletak diujung, dengan jendela yang menghadap langsung ke samudera. Sering aku berpikir untuk bunuh diri saja dengan melompat dari ujung jendela di cottage ini. Tapi selalu kuurungkan. Aku tahu, bunuh diri adalah hal yang tidak dikehendaki oleh Tuhan. Dan aku, manusia beriman. Cukup beriman.
Aku beranjak dari meja rias. Dan malam ini, adalah malam pertunanganku dengan lelaki bermata bengis itu. Lelaki yang memiliki senyum yang menyakitkan. Lelaki yang kata ayahku adalah keturunan terbaik dari generasi terbaik. Ya, perlu diketahui, ayahku adalah ketua sebuah organisasi mafia. Ayah dari lelaki itupun sama. Jadi kesimpulannya, jika aku mau menikah dengan Lee maka organisasi ayahku dan ayahnya akan bergabung. Mereka akan menjadi penguasa daerah ini. Membayangkannya membuatku merasa seperti barang dagangan. Ayahku melakukan barter dengan ayah Lee. Lee mendapatkan aku, dan ayahku mendapatkan kekuasaan. Cihh!
Ahh, andai ibu masih ada, pasti ayah tak akan berbuat seperti ini. Yang aku ketahui ayahku sangat mencintai mediang ibukku. Apapun yang ibukku katakan, ayahku selalu mengikutinya. Namun, sejak ibukku tak ada. Ayahku berubah. Dulu aku tak pernah dikawal oleh anak buah ayah. Tapi sekarang, kemanapun aku pergi, mereka selalu ada. Sekarangpun, aku harus tinggal disini. Ditempat yang sangat asing bagiku. Tak ada orang lain disini kecuali keluargaku dan orang-orang yang bekerja untuk ayahku. Akupun tak tahu bagaimana aku bisa menemukan jalan keluar. Yang aku tahu, tidak ada kendaraan yang bisa digunakan untuk keluar pulau kecuali kapal atau helikopter.
***
"Nona Viola. Nona. Nona!!" Kudengar seseorang memanggilku. Aku merasa ada sebuah tangan hangat yang menggoyang-goyangkan bahuku.
"Uhukkk! Uhukk!" Aku tersedak. Perlahan aku membuka mataku. Kulihat seorang pelayan di rumahku memandangku dengan tatapan cemas.
"Nona tidak apa-apa? Nona kenapa tidur di pantai?"
Aku tidak menjawab. Akupun tak sadar kalau aku malah tertidur di pantai. Yang kuingat hanyalah, tadi pagi buta aku berjalan-jalan di sepanjang pantai.
"Nona, Tuan Besar mencari Nona. Untung Nona segera saya temukan." Wanita separuh baya itu memandangku dengan sedikit gelisah.
"Apakah Nona tidak ingat?"
"Ingat apa?" Aku menegakkan badanku. Beberapa butiran pasir masih menempel di pipi kiri ku.
"Hari ini adalah hari pernikahan Nona dengan tuan Lee. Nona harus segera mempersiapkan diri."
Aku ingat, sangat ingat malah, aku hanya berpura-pura saja. Ya, hari ini adalah hari pernikahanku. Tinggal 3 jam lagi aku akan menikah dengan Lee. Lelaki yang tak pernah kucintai.
Akupun beranjak dari sisi pantai. Wanita separuh baya itu mengikuti langkahku.
"Ahh Greg, lelaki bermata sayu, penulis gila, pendongeng yang tak punya masa depan, aku merindukanmu!" Aku bergumam sembari melangkahkan kakiku menuju cottage di atas karang. Jauh di ujung cakrawala aku melihat semburat warna merah jingga kuning hijau biru nila ungu. Aku berhenti sejenak untuk memandangnya, membayangkan diujung sana Greg sedang menulis sebuah cerita dimana aku yang selalu menjadi tokoh utamanya. Selalu.
image was taken from here
Tyas
-Sebuah inspirasi yang muncul sehabis hujan-