saat hujan turun
karna aku dapat mengenangmu
untukku sendiri
Mulutku terus menggumamkan reffren dari lagu Hujan milik Utopia. Sebenarnya aku nggak begitu mengidolakan Utopia, cuma lagunya yang satu ini sangat menyentuhku. Lagu ini sudah lama ada di playlist handphone ku. Setiap aku sedang sendiri, pasti aku sempatin buat memutar lagu ini. Tiap mendengar lagu ini, aku jadi teringat dengan cowok itu. Namanya Dimas, entah nama panjangnya siapa, aku tidak begitu mengingatnya. Aku memang tak pandai untuk mengingat bahkan nama panjang orang yang sangat dekat denganku sekalipun. Aku pertama kali bertemu dengan Dimas satu setengah tahun yang lalu. Aku bertemu pertama kali saat ospek. Dia teman satu kelompok denganku.
"Dimas," cowok berkacamata itu mengulurkan tangannya didepanku.
"Winda," aku membalas dengan jabatan tangan dan senyum manis. Dia lalu duduk di sebelahku. Saat ini adalah saat istirahat sebelum menuju acara ospek selanjutnya.
"Anak apa?" aku membuka pembicaraan lagi.
"Teknik informatika, kamu?" dia memandangku antusias.
"Aku anak psikologi."
Dimas mengangguk pelan sambil terus memandangku, aku agak risih sebenarnya dengan cara dia memandangku.
***
Tiga bulan berlalu setelah masa ospek. Entah mengapa aku semakin dekat saja dengan Dimas. Kalau dilihat-lihat, Dimas itu kayak Surya Saputra, hahahaha. Ah aku mulai mengacau saja. Dimas dan aku memang berada di satu area kampus, jadi intensitas kami bertemu semakin sering. Beberapa temanku bahkan menganggap kalau aku dan Dimas itu pacaran. Kadang saat temanku menanyakan statusku dengan Dimas, rasanya ingin menjawabnya dengan 'Ya, aku pacaran sama Dimas'. Tapi, hubunganku dengan Dimas itu tidak jelas. Hubungan kami memang masih tanpa status. Dimas tidak pernah tegas dengan perasaannya, meski aku sudah bisa menebak kalau dia ada rasa denganku. Bagaimana tidak, kadang dia mau menemani aku lembur tugas di perpustakaan kampus sampai jam 9 malam. Sampai suatu kali kami hampir terkunci di dalam perpustakaan karena jam kunjung sudah habis. Dia sering menungguiku sampai aku selesai kuliah meskipun dia sebenarnya sudah selesai kuliah sejak berjam-jam sebelumnya. Dia mau menjemputku dan mengantarku. Dia satu-satunya orang yang tidak pernah absen menemaniku ke toko buku atau ke mall.
Sekarang sudah hampir satu setengah semester aku dan Dimas berhubungan akrab. Meski kami tetap tidak memiliki status yang jelas. Tapi aku cukup bahagia dengan keadaan ini. Aku dan dia saling setia, meski kami tidak tahu hubungan ini seperti apa. Aku juga nggak pernah membuka hati untuk jatuh cinta dengan orang lain. Dimas juga begitu. Bahkan orangtuaku sudah sangat setuju jika aku berpacaran dengan Dimas. Ibukku bahkan pernah mengatakan, entah serius atau tidak, bahwa beliau sangat setuju bila setelah lulus kuliah aku dan Dimas menikah. Aku cuma bisa senyam-senyum, aku sih mau-mau saja. Tapi Dimas??
***
"Dim, kamu nanti sore ada acara nggak?"
Dimas yang sedang menyantap bakso kuah kesukaannya menoleh ke arahku. Matanya berbinar menatapku tanpa lensa kacamata yang selalu menghalanginya. Aku sebenarnya suka melihatnya kalau tidak pakai kacamata. Aku pernah mendesaknya untuk melepas kacamatanya barang sehari saja. Tapi kata dia, minusnya banyak jadi kalau nggak pakai kacamata nggak bisa lihat.
"Emangnya mau kemana Wind?"
"Emm, mau minta temenin ke toko buku."
"Boleh, jam berapa? Aku jemput deh ya, kayak biasanya."
"Jam 7 ya, makasih Dim!" Aku memeluk lengannya manja.
Malam ini aku jadi pergi dengan Dimas ke toko buku kesukaanku. Sengaja aku memilih cabang toko buku itu yang ada di mall. Biar sekalian bisa main dan nongkrong lebih lama. Setelah selesai membeli beberapa buku, lebih tepatnya novel fiksi, aku dan Dimas melanjutkan berkeliling mall. Memasuki toko satu ke toko yang lain. Setelah lelah berkeliling, kami putuskan untuk makan malam di mall. Setengah jam kemudian kami putuskan untuk pulang karena sudah beberapa kali kami mendengar suara petir tanda akan hujan. Malam ini Dimas menjemputku memakai motor prianya, padahal biasanya dia memakai mobil.
Baru beberapa ratus meter meninggalkan mall, hujan turun dengan derasnya. Sialnya, Dimas nggak membawa mantel.
"Dim, menepi dulu gih. Nanti novelku basah semua."
Dimas segera menepikan motornya di depan sebuah halte yang sudah kosong. Angin bertiup kencang dan hujan semakin deras. Dalam keadaan basah, aku dan Dimas duduk di kursi halte. Jam sudah menunjukkan pukul 10.53. 'Sudah malam rupanya, ahh Ibu pasti nyariin aku. Terlebih karena hujan deras banget malam ini,' pikirku.
"Kamu kedinginan Wind?" Dimas menatapku dengan matanya yang tajam.
"Enggak kok, santai aja." Aku merapatkan jaketku yang sudah basah. Dia membuka jaket parasutnya yang anti air dan mengenakannya ke punggungku. Dia mendekapku, hangat.
"Wind," Dimas mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku menatapnya gugup. Dimas mau apa?
------ Dimas mencium bibirku, lama. Awalnya aku memang tak menyangka, tapi sekarang aku menikmatinya, menikmati setiap hangat desah nafasnya, menikmati hangat bibirnya yang menyentuh bibirku dengan lembut.
"Wind," Dimas berbisik pelan, kemudian mengusap lembut pipiku. "Maaf ya, aku udah kurang ajar sama kamu."
Aku menggeleng pelan. Ku tatap sekali lagi raut wajahnya dan rambutnya yang basah karena air hujan. Aku memandang matanya yang tajam, kali ini tanpa ada sepasang lensa kacamata yang menghalanginya.
'Aku sayang kamu Dim,' ucapku dalam hati. Aku mendekapnya lagi, sampai hujan benar-benar reda, dan hanya menyisakan rintik samar dan bau tanah basah.
"Wind," Dimas berbisik pelan, kemudian mengusap lembut pipiku. "Maaf ya, aku udah kurang ajar sama kamu."
Aku menggeleng pelan. Ku tatap sekali lagi raut wajahnya dan rambutnya yang basah karena air hujan. Aku memandang matanya yang tajam, kali ini tanpa ada sepasang lensa kacamata yang menghalanginya.
'Aku sayang kamu Dim,' ucapku dalam hati. Aku mendekapnya lagi, sampai hujan benar-benar reda, dan hanya menyisakan rintik samar dan bau tanah basah.
***
Malam ini, hujan turun lagi dengan derasnya. Sudah setahun lamanya sejak peristiwa itu. Peristiwa dimana aku dan Dimas menikmati hujan yang turun. Menikmatinya berdua bersama kenangan yang manis. Kenangan yang tak pernah akan kulupakan, meski aku dan dia tak pernah ada kata jadian. TAK AKAN PERNAH!!!
"Dim, kamu apa kabar?" Aku berbisik sembari mengusap foto Dimas di layar handphoneku. "Aku kangen kamu Dim." Mataku mulai berkaca-kaca. Aku benar-benar kangen dengan Dimas, segala tentang dia.
"Yak, kali ini Lisa Theodora akan membacakan request via SMS dari Winda. Emm, SMS ini buat Dimas, Winda kangen nih, kamu apa kabar? Besok pagi, Winda mau ke tempat kamu, mau dibawain bunga apa? O ya Dim, lewat siaran radio ini, aku berharap kamu bisa mendengar isi hatiku. Dan aku selalu berdoa semoga kamu bahagia di sana ya Dim." Suara penyiar wanita dari sebuah radio streaming bergema di kamarku. Aku terdiam sejenak. Itu pesan singkat yang aku kirim beberapa menit yang lalu.
"Emm, agak merinding ya bacanya, hahaha." Si penyiar mulai bercuap-cuap lagi setelah sekian detik terdiam. "Oke listener, kita bantu Winda ya, berdoa semoga Dimas bahagia disana ya, and buat Winda, yang tabah ya. Emm, oke deh listener semua, kali ini aku bakal puterin lagu spesial buat Winda dan Dimas di luar sana, ini dia Hujan dari Utopia!!"
Temani sepi yang mengendap
Kala aku mengingatmu
Dan semua saat manis itu
Segala seperti mimpi
Kujalani hidup sendiri
Andai waktu berganti
Aku tetap tak ’kan berubah
Aku selalu bahagia
Saat hujan turun
Karna aku dapat mengenangmu
Untukku sendiri
Selalu ada cerita
Tersimpan dihatiku
Tentang kau dan hujan
Tentang cinta kita
Yang mengalir seperti air
Aku bisa tersenyum
Sepanjang hari
Karna hujan pernah menahanmu disini
Untukku
image was taken from here
Tyas
-Inspirasi dari hujan malam ini-
No comments:
Post a Comment