'Tik tik tik tik' suara tetesan air hujan menggema diatas rumah beratapkan lembaran-lembaran seng tersebut. Sesosok wanita paruh baya, mungkin usianya sudah menginjak kepala enam, sedang sibuk memilah-milah jemuran yang baru saja ia angkat dari sebilah tali jemuran yang dipasang di samping rumahnya.
"Nduk, Simbok dibantuin dulu!" Mbok Yem, wanita paruh baya itu memanggil cucu kesayangannya.
"Sebentar Mbok! Nanti tempenya gosong!" Yeni, cucu kesayangan Mbok Yem menyaut dari dalam rumah.
Hari belum juga menginjak sore, tapi mendung gelap sudah menaungi sebuah kampung kecil di pinggir sungai Code. Tak lama, hujan rintik turun tanpa ampun membasahi rumah-rumah sederhana yang berderet rapi di sepanjang aliran sungai.
Setelah selesai menggoreng 4 buah tempe untuk lauk makan malam, Yeni segera mematikan kompor minyak yang sudah bertahun-tahun digunakan olehnya dan neneknya untuk memasak segala macam makanan. Dengan sigap Yeni segera membantu Mbok Yem melipat jemuran yang sudah kering dan menyingkirkan jemuran yang masih basah untuk digantung di tali kenur yang dipasang di teras rumah.
"Kok hujan lagi ya Mbok? Kemarin sepertinya sudah mulai musim kemarau." Yeni mencoba mengajak bicara neneknya yang sedari tadi terlihat diam dan sedikit murung.
"Lha iya Nduk, musim sekarang sudah ndak tentu lagi. Kadang panas, kadang hujan, wis pokoke ndak pasti."
"Jadinya kan jemurannya ndak kering Mbok."
Mbok Yem mengangguk sembari tersenyum masam.
"Ya mau gimana lagi Nduk, kita kan ndak kuasa mengatur alam. Apa yang alam mau, ya kita ikuti saja. Itu sudah kehendak Yang Kuasa Nduk. Kita cukup sabar dan narimo apa yang sudah diberi oleh Yang Kuasa."
"Tapi Mbok, kalau basah gini nanti Simbok ndak dapat bayaran dari Bu Dirjo."
"Ya, nanti biar Simbok yang bilang sama Bu Dirjo sambil nganter jemuran yang sudah kering kesana. Kamu nanti bantuin nyetrika ya." Mbok Yem meyakinkan cucu kesayangannya itu sembari mengusap kepalanya dengan lembut. Yeni tersenyum simpul, di dalam hatinya ia begitu bangga kepada neneknya. Yeni sejak kecil memang sudah hidup yatim piatu. Ibunya meninggal sesaat setelah ia dilahirkan, sedangkan ayahnya meninggal karena kecelakaan saat Yeni berumur kira-kira 1,5 tahun. Sejak saat itu Yeni diasuh dan tinggal bersama neneknya di tepian sungai Code. Sebuah sungai yang membelah kota Yogyakarta yang berhulu di lereng gunung Merapi yang mana kala itu pernah mendapat kiriman banjir lahar dingin yang cukup dahsyat dan meninggalkan sejumput trauma di benak penduduk di sekitarnya.
***
"Nduk, sudah selesai nyetrikanya?" tanya Mbok Yem dari dapur.
"Sudah Mbok, sudah Yeni masukkan ke keranjang," jawab Yeni dari ruangan yang sama. Ruang dapur memang merangkap ruang untuk menyetrika pakaian karena rumah Mbok Yem hanyalah rumah petak berdinding batako berukuran 4x5 meter dengan atap lembaran seng yang sudah tidak layak lagi karena banyak yang bocor. Untuk mandi saja harus menumpang di rumah tetangga atau kamar mandi umum yang memang sengaja dibangun oleh warga di kampung tersebut.
"Sini Nduk, bawa kesini. Biar Simbok antar ke rumah Bu Dirjo."
Yeni membawa keranjang plastik berisi beberapa helai pakaian keluarga Bu Dirjo yang dititipkan pada Mbok Yem untuk dicuci dan disetrika. Mbok Yem memang buruh cuci, para tetangga yang bekerja di luar rumah dan jauh dari kampung terbiasa menitipkan pakaian-pakaian kotor mereka untuk dicuci dan disetrika oleh Mbok Yem. Ya, bisa dibilang Mbok Yem menawarkan jasa laundry tradisional dan kecil-kecilan. Tanpa mesin cuci atau alat untuk dry cleaning.
***
"Bu! Bu Dirjo!" Mbok Yem berseru memanggil si empunya rumah sambil mengetok pintu rumah dengan pelan. Di luar hujan belum berhenti turun. Meskipun hanya gerimis yang tersisa, namun tetap saja hal ini merepotkan Mbok Yem ketika mengantar pakaian bersih dan kering ke rumah Bu Dirjo.
"Nggih, bentar Yu!" Terdengar suara Bu Dirjo diiringi langkah kaki terburu-buru.
Tak seberapa lama pintu depan rumah Bu Dirjo terbuka. Sesosok wanita berusia sekitar 48 tahunan muncul dari balik pintu yang terbuka.
"Sudah kering Mbakyu pakaiannya?" tanya Bu Dirjo sembari memperhatikan isi keranjang yang dibawa Mbok Yem. "Sini masuk dulu!"
"Ngapunten Bu, belum semuanya kering. Hujan turunnya kecepetan Bu. Belum juga jam 1 siang, eh kok udah hujan lagi." Mbok Yem menyerahkan keranjang berisi pakaian bersih yang sudah rapi disetrika oleh Yeni tadi.
Bu Dirjo terkekeh mendengar jawaban Mbok Yem. "Ya makhlum Yu, cuacanya lagi aneh. Aneh seperti para pejabat diatas itu. Sukanya mainin dan bikin bingung rakyat kecil."
"Mainin pripun Bu?" Mbok Yem tampak bingung.
"Lha iya, sukanya mainin rakyat. Katanya mau bangun fasilitas ini itu, mau ngasih sekolah gratis, mau ngasih jaminan kesehatan, tapi semuanya palsu Yu. Ya kayak cuaca sekarang ini, kelihatannya sudah musim kemarau, eh tapi hujan turun lagi. Palsu juga to?"
Mbok Yem mengangguk-angguk. Sekarang ia paham apa yang dimaksud oleh Bu Dirjo.
"Andai ya Bu, kita rakyat kecil ndak dimainin dengan janji-janji palsu begitu, pasti hidup kita jadi lebih baik."
"Iya Yu. Kalau ndak ada janji palsu para pejabat dan ndak ada pejabat yang korupsi, pasti hidup kita akan lebih sejahtera Yu. Daripada dikorupsi kan lebih baik uangnya diperbantukan ke rakyat kecil seperti kita ini. Paling tidak ya, ada sokongan untuk usaha kecil seperti yang Mbakyu lakukan sekarang."
"Inggih Bu, andai saja uangnya ndak habis dikorupsi, mungkin orang seperti saya bisa dibantu beli mesin cuci atau buka kios ya Bu. Biar kalau cuacanya sedang ndak tentu begini, saya tetep bisa kerja, jemuran saya juga bisa kering dengan cepat dan pelanggan saya bisa tambah banyak."
"Bener Yu. Semoga saja yang di atas sana segera sadar."
"Saestu Bu," Mbok Yem segera membereskan keranjang yang sudah kosong.
"Bu, saya pamit nggih. Kasian Yeni sudah menunggu di rumah."
"Monggo Yu, o ya, ini bayarannya sampai lupa saya." Bu Dirjo menyerahkan lembaran uang pecahan sepuluh ribu dan lima ribuan kepada Mbok Yem.
"Matur nuwun Bu. Monggo"
Mbok Yem bergegas meninggalkan rumah Bu Dirjo. Rintik hujan masih turun membasahi tubuhnya yang sudah tua. Dalam hati Mbok Yem menyelipkan doa sederhana, jika memang para pejabat yang berkuasa belum bisa membuka mata untuk rakyat kecil, ia hanya berharap Tuhan Yang Maha Kuasa masih memberi kesehatan dan kekuatan agar tetap bisa bekerja mencari rupiah demi hidupnya dan masa depan Yeni, cucunya yang saat ini masih duduk di bangku kelas 2 SMP.
***
~Tyas~
Terinspirasi dari cuaca tak menentu akhir-akhir ini.
Hujan hujan dan hujan lagi.