Hi readers!!
Aku masih ingat betul, saat itu, matahari belum sepenuhnya menampakan diri. Pukul 5.59, baru beberapa menit yang lalu aku bangun dari tidurku yang pulas tanpa mimpi. Jogja yang pada biasanya, sepagi itu, sedang menikmati khyusuk dan damainya suasana pagi dan hangat lembutnya cahaya mentari. Jogja yang sepagi itu terasa begitu damai dan tenang, tiba-tiba saja menjadi riuh. Teriakan demi teriakan memilukan bergema di bawah atmosfer langit Jogja. Jogja, pagi itu, baru saja diterjang gempa bumi berkekuatan 5,9 skala Ritcher.
Gempa bumi yang berpusat di daratan memang berbeda dengan gempa bumi yang berpusat di samudera. 5,9 skala Ritcher pagi itu telah meluluh lantakkan sebagian besar Jogja, bahkan hingga Jawa Tengah. Bantul menjadi salah satu titik terparah. Saat itu, korban jiwa belum sepenuhnya terhitung. Aku yang kala itu hanya memiliki sebuah handphone butut, dimana belum ada Whatsapp, Line, dan media chatting online yang up to date, jelas tidak bisa sesegera mungkin meng-update informasi. Bahkan, aku tidak tahu jika terjangan gempa tersebut berasal dari Bantul. Hanya radio yang berfungsi saat itu, saluran listrik padam, bahkan sinyal GSM pun hilang timbul tak karuan.
Waktu itu, aku yang adalah anak remaja kelas 1 SMA, tidak terlalu terdistraksi dengan kejadian pagi itu. Kenapa? Karena telingaku belum tersentuh informasi apapun, baik dari radio maupun surat kabar, apalagi Facebook, paling baru bang Mark and the gank yang punya akunnya bro! Aku dan teman-temanku, anak-anak SMA kelas 1 yang lugu, sibuk membincangkan kejadian tadi pagi. Kami tertawa-tawa mendengar berbagai cerita lucu yang terjadi saat gempa tadi pagi. Ada temanku yang baru mandi sewaktu gempa, yang kemudian lari tunggang langgang keluar rumah, ada pula yang sedang asik jongkok di toilet, dan sebagainya.
Namun, segalanya berubah ketika baru beberapa menit berada di Sekolah, bahkan jam pelajaran pertama saja belum usai. Suasana kembali tegang. Tsunami! Tsunami! Teriak beberapa orang yang melewati jalan raya di depan sekolahku. Saat itu, aku dan mungkin banyak orang di sekitarku, belum terbiasa dengan kata beraroma Jepang itu. Baru beberapa menit setelahnya, aku sadar, Tsunami adalah gelombang pasang yang mematikan. Aku teringat peristiwa maha-dahsyat di Aceh setahun sebelumnya.
Teriakan demi teriakan berlafalkan kata yang sama, tsunami, membuatku lemas. Aku, yang saat itu masih diantar jemput oleh orang tuaku, mendadak linglung. Aku tidak tahu harus pergi meninggalkan gedung sekolah dengan apa. Motor jelas di rumah, sepeda juga. Akhirnya kuputuskan untuk nebeng salah satu teman. Sekenanya. Syukurlah, di depan gerbang sekolah aku menemukan ibukku dan adikku yang sedang menunggu untuk menjemputku pulang.
Geger!! Jalan raya Godean ramai dipadati kendaraan bermotor dan sepeda. Ada apa? Ada isu tsunami! Dengan susah payah motor yang dikemudikan ibuku melaju ke arah barat, ke arah rumah. Gerombolan masa pun memacu kendaraan mereka ke arah barat, ke arah pegunungan menoreh, lokasi yang dianggap aman dari gelombang tsunami.
Nyatanya, tsunami itu tidak menerjang. Rumor tersebut dihembuskan oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab demi keuntungan diri pribadi. Nyatanya, gempa 5,9 skala Ritcher tersebut telah meluluhlantakan Jogjakarta. Bantul, daerah terparah, mencatat adanya korban jiwa sebanyak ratusan ribu. Kami berduka!
Gempa Jogja, 9 tahun silam, membawa banyak cerita dan pengalaman. Bahwa kita hanyalah butiran debu di hadapan "mother nature". Kita hanyalah butiran debu di hadapan Sang Kuasa.
Kini, Jogja sudah bangkit. Jogja sudah kembali penuh semangat.
Sebuah refleksi dan permenungan
memperingati 9 tahun peristiwa tak terlupakan.
Jogja, 27 Mei 2015
Fransiska Wahyuningtyas